Cari Disini

Thursday, June 23, 2011

PPh Pasal 21 Bukan Pegawai

Perlu dipahami bahwa perhitungan PPh Pasal 21 Bukan Pegawai berbeda dengan perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai / Karyawan. Sebelum membahas perhitungannya perlu diketahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk kategori bukan pegawai.

Termasuk dalam kategori bukan pegawai adalah :
  1. Tenaga Ahli
  2. Pemain Musik
  3. Pembawa Acara
  4. Penyanyi
  5. Pelawak
  6. Bintang Film
  7. Bintang Sinetron
  8. Bintang Iklan
  9. Sutradara
  10. Kru Film
  11. Foto Model
  12. Peragawan / Peragawati
  13. Pemain  Drama
  14. Penari
  15. Pemahat
  16. Pelukis & Seniman Lainnya
  17. Olahragawan
  18. Penasehat
  19. Pengajar
  20. Pelatih
  21. Penceramah
  22. Penyuluh
  23. Moderator
  24. Pengarang
  25. Peneliti
  26. Penerjemah
  27. Agen Iklan
  28. Pemberi Jasa dalam segala bidang termasuk Teknik, Komputer dan Sistem Aplikasinya, Telekomunikasi, Elektronika, Fotografi, Ekonomi dan Sosial, serta pemberian jasa kepada suatu panitia
  29. Pengawas
  30. Pengelola Proyek
  31. Pembawa Pesanan
  32. Penemu Langganan atau yang menjadi perantara
  33. Penjaja Barang Dagangan
  34. Petugas Dinas Luar Asuransi
  35. Distributor Perusahaan Multi Level Marketing (MLM) atau Direct Selling & Kegiatan Sejenis lainnya.

Perhitungan PPh Pasal 21 Bukan Pegawai adalah :

Syarat-syarat :
1. Imbalan / Penghasilan berkesinambungan
2. Memiliki NPWP
3. Hanya menerima penghasilan dari 1 (Satu) Pemotong yang bersangkutan
PENGHASILAN BRUTO X 50%
XXXXX
PTKP
(XXXXX)
PKP
XXXXX


PKP x PPh Pasal 17 = PPh Pasal 21 Jasa Tenaga Ahli yang terutang

Belum tahu tarif PPh Pasal 17 ? BACA DISINI

Syarat-syarat :
1. Imbalan / Penghasilan tidak berkesinambungan
2. Tidak Memiliki NPWP, atau
3. Menerima penghasilan selain dari Pemotong yang bersangkutan


PENGHASILAN BRUTO X 50%
XXXXX
PKP
XXXXX

PKP x PPh Pasal 17 = PPh Pasal 21 Jasa Tenaga Ahli yang terutang

20% lebih tinggi bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP


Belum tahu tarif PPh Pasal 17 ? BACA DISINI

Untuk contoh Perhitungan PPh 21 Bukan Pegawai akan diberikan pada posting selanjutnya. Jika ada hal yang ingin didiskusikan silahkan berkomentar dibawah atau kirim E-Mail ke alamat diatas.

Monday, June 20, 2011

Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 17

Untuk menghitung Pajak Penghasilan digunakan tarif yang tertuang dalam Undang-Undang PPh Pasal 17. Tarif tersebut adalah :

1. Wajib Pajak Dalam Negeri



LAPISAN PENGHASILAN

TARIF
s/d 50.000.000,00
5%
> 50.000.000,00 s/d 250.000.000,00
15%
> 250.000.000,00 s/d 500.000.000,00
25%
> 500.000.000,00
30%


Untuk keperluan penerapan tarif tersebut jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan kebawah dalam ribuan rupiah penuh. Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak tersebut dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.

2. Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap
Tarif untuk WPDN dan BUT adalah 25% Berlaku sejak tahun pajak 2010. Tarif sebelumnya adalah 28%.
Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk perseroan terbuka dapat memperoleh penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5% (Lima Persen) lebih rendah dari tarif tertinggi Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri. Penurunan tarif sebesar 5% tersebut dapat diberikan jika memenuhi persyaratan (PP Nomor 81 Tahun 2007) sebagai berikut :
  • Apabila jumlah kepemilikan saham publiknya adalah 40% (empat puluh persen) atau lebih dari keseluruhan saham yang disetor;
  • Saham tersebut dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) pihak; dan
  • Masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang disetor.

3. Dividen yang dibagian kepada WPOP Dalam Negeri
Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.

Sunday, June 19, 2011

Jasa Kena Pajak (JKP)

Didalam Undang-Undang PPN Pasal 4(A) ayat 3 disebutkan Jenis Jasa yang tidak dikenai PPN, artinya selain jasa yang disebutkan tersebut dikenakan PPN.

Jenis Jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
  • Jasa Pelayanan Kesehatan Medis;
  • Jasa Pelayanan Soisal;
  • Jasa Pengiriman surat dengan perangko;
  • Jasa Keuangan;
  • Jasa Asuransi;
  • Jasa Keagamaan;
  • Jasa Pendidikan;
  • Jasa Kesenian dan Hiburan;
  • Jasa Penyiaran yang tidak bersifat iklan;
  • Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
  • Jasa Tenaga Kerja;
  • Jasa Perhotelan;
  • Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
  • Jasa penyediaan tempat parkir;
  • Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
  • Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
  • Jasa boga atau katering.

Penjelasan Pengenaan PPN

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas :

1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha
Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) adalah Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berkut:
  • Barang berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak. Apa saja yang termasuk Barang Kena Pajak ? Baca lagi artikel Barang Kena Pajak;
  • Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
  • Penyerahan dilakukan didalam Daerah Pabean;
  • Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

2. Impor Barang Kena Pajak
Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berbeda denga penyerahan barang kena pajak seperti disebutkan diatas, siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.

3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan Jasa Kena Pajak yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  • Jasa yang diserahkan merupakan jasa kena pajak. Apa saja yang termasuk jasa kena pajak ? Baca artikel Jasa Kena Pajak;
  • Penyerahan dilakukan didalam Daerah Pabean;
  • Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau diberikan secara cuma-cuma.

4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang bersasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daearh Pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Contoh : Pengusaha A yang berkedudukan di Indonesia memperoleh hak mengguanakan merk yang dimiliki Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaat merk tersebut oleh Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang PPN.

5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabena di dalam Daerah Pabean
Jasa dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh : Pengusaha A yang berkududukan di Indonesia memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.

6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha yang melakukan Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP, artinya jika ekspor dilakukan oleh orang yang belum dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, atas ekspor tersebut tidak terutang PPN.

7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Sebagaimana halnya dengna kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah :
  1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta dibidang kesusastraan, kesenian, atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merk dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
  2. Peggunaan atau hak menggunakan peralatan / perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
  3. Pemberian pengetahuan atau informasi dibidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
  4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada huruf a, penggunaan atau hak menggunakan peralatan / atau perlengkapan pada huruf b, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada huruf c, berupa :
    • Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
    • Pengguanaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan / dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
    • Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi.
  5. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi atau pita suara untuk siaran radio; dan
  6. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan pengguanaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut diatas.

8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean

    Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

    Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Pajak yang dikenakan terhadap barang atau jasa karena bertambahnya nilai guna dari barang atau jasa tersebut. PPN bersifat objektif, artinya PPN dikenakan bukan berdasarkan subjek pajak melainkan dari barang atau jasanya. Hal ini menegaskan bahwa pengenaan PPN tidak memandang apakah pembeli atau penjual barang atau jasa tersebut sudah terdaftar sebagai wajib pajak atau belum.

    PPN dikenakan pada setiap rantai produksi, mulai dari proses produksi hingga terdistribusi ke konsumen akhir. Contoh : Setiap produksi mie instan, PPN telah dipungut oleh produsen terhadap agen-agen penyalur, agen penyalur mendistribusikan lagi ke toko-toko kecil hingga ke konsumen yang tentunya didalam harga jual tersebut sudah diperhitungkan adanya PPN. Lalu apakah ini bisa dibilang pajak berganda? Mari kita diskusikan bersama.

    PPN sendiri dibagi menjadi 2 yaitu PPN Masukan dan PPN Keluaran.
    PPN Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak (JKP) dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud (BKPTB) dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak (BKP).
    PPN Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang harus dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.

    Fungsi dari adanya PPN Masukan dan PPN Keluaran tersebut adalah untuk perhitungan apakah wajib pajak kelebihan membayar pajak atau bahkan kekurangan membayar pajak. Perhitungan sederhananya adalah PPN Masukan dikurangi dengan PPN Keluaran, jika PPN Masukan lebih tingga dari PPN Keluaran maka wajib pajak tersebut masih memiliki pajak yang terutang yang harus dilunasi melalaui bank persepsi. dan jika PPN Keluaran lebih tinggi dari PPN Masukan maka wajib pajak tersebut telah kelebihan membayar pajak, yang atas kelebihan pembayaran pajak tersebut dapat dikompensasikan ke perhitungan pajak bulan selanjutnya atau dilakukan restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak) pada akhir tahun.

    Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas :
    • Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
    • Impor Barang Kena Pajak;
    • Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
    • Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
    • Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daearh Pabean;
    • Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
    • Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
    • Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

    Penjelasan mengenai Pengenaan PPN atas PPN diatas dapat dibaca pada artikel Penjelasan Pengenaan PPN.

    Friday, June 17, 2011

    Subjek Pajak Penghasilan

    Yang menjadi Subjek Pajak Penghasilan adalah :

    1. Orang Pribadi
    Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Insdonesia ataupun di luar Indonesia.

    2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
    Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.

    3. Badan
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk Kontrak Investasi Kolektif dan Bentuk Usaha Tetap.

    BUMN dan BUMD merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari Badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak.

    Dalam pengetian Perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

    4. Bentuk Usaha Tetap
    Penjelasan mengenai Bentuk Usaha Tetap dapat dibaca DISINI.

    Bentuk Usaha Tetap (BUT)

    Salah satu Subjek Pajak Penghasilan (Subjek PPh) adalah Bentuk Usaha Tetap atau lebih sering didengar atau familiar dengan sebutan BUT. Namun mungkin saja masih banyak yang belum mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan BUT.

    Didalam Undang-Undang PPh Pasal 2 ayat 5 disebutkan :
    Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :
    1. Tempat kedudukan manajemen;
    2. Cabang perusahaan;
    3. Kantor perwakilan;
    4. Gedung kantor;
    5. Pabrik;
    6. Bengkel;
    7. Gudang;
    8. Ruang untuk promosi dan penjualan;
    9. Pertambangan dan penggalian sumber alam;
    10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
    11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
    12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
    13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
    14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
    15. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia; dan
    16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalaui internet.

     Suatu Bentuk Usaha Tetap mengandung pengertian suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

    Pengertian Bentuk Usaha Tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang beritindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan usahanya sendiri.

    Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

    Thursday, June 16, 2011

    Penyerahan Barang Kena Pajak

    Pajak Pertambahan Nilai (PPN) salah satunya dikenakan pada Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), didalam Undang-Undan PPN Pasal 1A disebutkan yang termasuk dalam  pengertian Barang Kena Pajak adalah :
    1. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
    2. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
    3. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
    4. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
    5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
    6. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
    7. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi;
    8. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.

    Untuk memberikan pemahaman yang seragam mengenai besarnya tarif yang dikenakan terhadap masing-masing penyerahan Barang Kena Pajak, perlu ditegaskan kembali bahwa tarif PPN adalah 10% dari DPP (Dasar Pengenaan Pajak), kecuali bagi Wajib Pajak tertentu yang memiliki ijin tertentu untuk menggunakan tarif 5% atau yang lainnya.

    Pemahaman seperti ini perlu ditanamkan kepada setiap Wajib Pajak untuk menghindari kesalahpahaman yang mungkin terjadi mengenai pengenaan tarif terhadap penyerhan Barang Kena Pajak, yang membedakan adalah besarnya DPP. DPP dapat sebesar 100% dari harga barang, 40% dari harga barang, 10% dari harga barang, dan lainnya. Tetapi untuk tarif tetap 10% dari DPP.

    Untuk mengetahui besarnya Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atas penyerahan Barang Kena Pajak akan dibahas pada posting selanjutnya.

    Monday, June 13, 2011

    Peraturan Menteri Keuangan No. 14/PMK.03/2011

    MENTERI KEUANGAN
    REPUBLIK INDONESIA
    SALINAN
    PERATURAN MENTERI KEUANGAN
    NOMOR 14/PMK.03/2011

    TENTANG

    PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK
    SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

    MENTERI KEUANGAN,

    Menimbang
    :
    a.
    bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum mengenai perlakuan perpajakan atas penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu mengatur kembali perlakuan perpajakan atas penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap;
    b.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;
    Mengingat
    :
    1.
    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
    2.
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
    3.
    MEMUTUSKAN:
    Menetapkan
    :
    PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP.
    Pasal 1
    (1)
    Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
    (2)
    Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan apabila seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:
    a.
    penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
    b.
    penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
    c.
    pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
    d.
    investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
    Pasal 2
    (1)
    Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    a.
    penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan; dan
    b.
    Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
    (2)
    Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    a.
    perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan
    b.
    Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.
    (3)
    Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    a.
    perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan
    b.
    Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.
    (4)
    Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:
    a.
    pembelian aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf c; atau
    b.
    investasi berupa aktiva tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf d,
    selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.
    (5)
    Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), tidak lagi dipenuhi, atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang terkait, dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
    Pasal 3
    (1)
    Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
    (2)
    Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut
    (3)
    Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut:
    a.
    jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
    b.
    bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan realisasi penanaman kembali.
    Pasal 4
    (1)
    Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial.  
    (2)
    Saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah saat perusahaan yang baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.
    (3)
    Keputusan tentang saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam) bulan setelah Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat berproduksi komersial.
    (4)
    Penetapan saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.
    (5)
    Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.
    Pasal 5
    Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia, besarnya tarif untuk menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagaimana ditentukan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak yang berlaku.
    Pasal 6
    Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final.
    Pasal 7
    Tata cara pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
    Pasal 8
    Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
    Pasal 9
    Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
    Ditetapkan di Jakarta
    pada tanggal 24 Januari 2011
    MENTERI KEUANGAN,
    ttd.
    AGUS D.W. MARTOWARDOJO
    Diundangkan Di Jakarta
    pada tanggal 24 Januari 2011
    MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
    ttd.
    PATRIALIS AKBAR
    BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 33

    Peraturan Menteri Keuangan No. 30/PMK.03/2011

    MENTERI KEUANGAN
    REPUBLIK INDONESIA
    SALINAN
    PERATURAN MENTERI KEUANGAN

    NOMOR 30/PMK.03/2011

    TENTANG

    PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.03/2010
    TENTANG BATASAN KEGIATAN DAN JENIS JASA KENA PAJAK
    YANG ATAS EKSPORNYA DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

    MENTERI KEUANGAN,
    Menimbang
    :
    a.
    bahwa untuk lebih memberikan kepastian perlakuan Pajak Pertambahan Nilai yang terkait dengan pemasukan dan pengeluaran barang dalam rangka ekspor Jasa Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen), perlu menyempurnakan ketentuan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai untuk Jasa Maklon termasuk ketentuan pengkreditan Pajak Masukan yang terkait dengan ekspor barang hasil maklon sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
    b.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
    Mengingat
    :
    1.
    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);


    2.
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);


    3.
    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);


    4.
    5.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai;


    MEMUTUSKAN:
    Menetapkan
    :
    PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.03/2010 TENTANG BATASAN KEGIATAN DAN JENIS JASA KENA PAJAK YANG ATAS EKSPORNYA DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.


    Pasal I


    Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai diubah sebagai berikut:
    1.
    Ketentuan Pasal 1 angka 3 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
    Pasal 1
    Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:



    1.
    Undang-Undang Pajak Pertambahan NiIai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.



    2.
    Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.



    3.
    Jasa Maklon adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi, serta menyediakan bahan baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.



    4.
    Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.



    5.
    Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.



    6.
    Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.


    2.
    Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:


    Pasal 8



    (1)
    Atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak yang dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon oleh Pengusaha Kena Pajak eksportir Jasa Maklon dilaporkan sebagai ekspor Barang Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.



    (2)
    Pajak Pertambahan Nilai atas:
    a.
    perolehan Barang Kena Pajak;
    b.
    perolehan Jasa Kena Pajak;
    c.
    pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
    d.
    pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; dan/atau
    e.
    impor Barang Kena Pajak,
    merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    Pasal II
    Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.







    Ditetapkan di Jakarta







    pada tanggal 28 Februari 2011







    MENTERI KEUANGAN,







                        ttd.







    AGUS D.W. MARTOWARDOJO

    Diundangkan di Jakarta
    pada tanggal 28 Februari 2011
    MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
                    ttd.
    PATRIALIS AKBAR
    BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 109