Cari Disini

Wednesday, November 23, 2011

Gross Up PPh Pasal 21

Pemotongan pajak atas penhghasilan yang diperoleh karyawan pada dasarnya adalah memenuhi kewajiban perpajakan yang harus dilakukan oleh perusahaan. Namun cara yang dipakai dalam memotong pajak tersebut dapat merugikan pihak perusahaan maupun pihak karyawan.

Ada 3 (tiga) cara yang dapat ditempuh untuk melakukan pemotongan pajak penghasilan :

1. Karyawan Menanggung Beban Pajak

Pemotongan dengan cara seperti ini tentu sangat merugikan karyawan, mengapa demikian?
Jika dipandang dari pihak perusahaan tentu menguntungkan, perusahaan tidak mengalami kesulitan dalam memperhitungkan dan mencatat pemotongan tersebut. Tetapi bagi karyawan hal ini sangat merugikan, karena penghasilan mereka harus dipotong, jadi jumlah yang mereka tidak penuh.

Contoh : Gaji Pegawai A adalah Rp.2.000.000,- Pajak terhutang Rp.30.000,- Jadi karyawan hanya menerima penghasilan Rp.1.970.000,-

Memang jumlahnya tidak signifikan, tetapi jika karyawan perusahaan mencapai ratusan bahkan ribuan, tentu cara seperti sangat menguntungkan perusahaan. Perusahaan tidak harus menanggung beban puluhan juta bahkan bisa mencapai miliaran rupiah.


Pemotongan pajak dengan cara seperti ini masih banyak dilakukan, terutama perusahaan-perusahaan keluarga dengan skala menengah kebawah. Mereka tidak mau rugi dengan menanggung biaya pajak tersebut.

2. Perusahaan Menanggung Beban Pajak

Cara seperti ini kurang lazim digunakan, karena pasti perusahaan merasa dirugikan dengan menanggung beban pajak yang harus disetor ke Negara. Jika jumlah karyawan sedikit tentu tidak jadi masalah, bagaimana jika jumlah karyawan mencapai ribuan?

Contoh: Perusahaan harus menanggung pajak Rp.100.000,- per karyawan. Jumlah karyawan ada 800 orang, Beban pajak yang harus ditanggung adalah Rp.80.000.000,- Besar bukan. Semakin besar biaya profit yang dihasilkan akan semakin kecil. Oleh karena itu cara ini jarang sekali dipakai.

Lalu apa keuntungannya?
Perhitungan dan pencatatan akan lebih mudah.

3. Metode Gross Up

Metode ini yang ingin saya bahas disini. Metode inilah yang lazim digunakan karena perusahaan tidak terlalu dirugikan, karyawan pun merasa diuntungkan.

Metode ini dilakukan dengan memberikan tunjangan pajak kepada karyawan sebesar pajak yang dibayarkan. Memang sedikit sulit dalam melakukan perhitungannya.

Jika Anda mencari di internet tentang cara perhitungan pajak dengan metode Gross Up, pasti banyak Anda temukan tetapi hanya untuk perhitungan 1 orang. Jika karyawan Anda berjumlah 100 orang, tidak mungkin Anda menghitung per orang.

Ilustrasi metode Gross Up adalah sebagai berikut :

Gaji                     Rp.3.000.000,-
Tunjangan xxx            Rp.  500.000,-
Tunjangan xxx            Rp.  300.000,-
Tunjangan Pajak          Rp.  100.000,-
Jumlah                   Rp.3.XXX.XXX,-

Pengurang:
Biaya Jabatan            Rp.   XX.XXX,-
Iuran                    Rp.   XX.XXX,-
Penghasilan Neto Sebulan Rp.X.XXX.XXX,-

Penghasilan Neto Setahun Rp.X.XXX.XXX,-
Dikurangi:
PTKP :                   Rp.X.XXX.XXX,-
PKP                      Rp.X.XXX.XXX,-

Pajak Terhutang 1 Th:
Tarif Pasal 17 x PKP     Rp.  XXX.XXX,-

Pajak terhutang 1 Bulan  Rp.  100.000,-

(Perhitungan diatas hanyalah ilustrasi bukan sebenarnya)

Maksud dari perhitungan Gross Up antara Tunjangan Pajak dan Pajak Terhutang nilainya sama.

Bagaimana caranya :

1. Buatlah form diexcel secara horizontal
Kenapa harus horizontal, karena jumlah karyawan yang lebih dari satu akan mudah dikerjakan. kolom yang harus dibuat adalah seluruh komponen penghasilan termasuk tunjangan pajak.

Contoh : 
Kolom A1 : No.Urut
Kolom B1 : Nama Karyawan
Kolom C1 : Gaji
Kolom D1 : Tunjangan XXX
Kolom E1 : Tunjangan XXX
Kolom F1 : Tunjangan Pajak
Kolom G1 : Jumlah Penghasilan (=SUM(C1:F1)
Kolom H1 : Biaya Jabatan
Kolom I1 : Iuran JHT
Kolom J1 : Penghasilan Neto Sebulan ( =G1-(H1+I1) )
Kolom K1 : Penghasilan Setahun ( =J1x12 )
Kolom L1 : PTKP
Kolom M1 : PKP ( =K1-L1 ) (Sebaiknya Rounddown -3 )
Kolom N1 : Tarif 5% (0.95)
Kolom O1 : Tarif 15% (0.85)
Kolom P1 : Tarif 25% (0.75)
Kolom Q1 : Tarif 30% (0.70)
Kolom R1 : Jumlah PPh Setahun ( =SUM(N1:Q1) )
Kolom S1 : Jumlah PPh sebulan ( =R1/12 )
Kolom T1 : ( =S1-F1 )
Kolom U1 : ( =T1/Tarif) Jika pajak hanya sampai pada 5% maka =T1/0.95; Jika sampai 15% maka =T1/0.85 dan seterusnya.
Kolom V1 : Gross Up ( =U1+F1)

Untuk rumus biaya jabatan, PTKP, Tarif dan sebagainya silahkan dibuat sendiri.

2. Isi Form tersebut keculai Tunjangan Pajak (F1)
3. Setelah semua terisi sampai dengan Kolom V1, copy kolom V1 Paste Value kan ke kolom F1 secara terus menerus (Hanya sekali copy, namun paste valuenya yang berulang) sampai kolom T1 dan U1 berniali 0 atau habis.


Metode Gross Up ini lah yang sangat lazim dipakai oleh perusahaan.

Jika Anda merasa bingung dengan contoh diatas silahkan komentar dibawah. Contoh diatas hanyalah ilustrasi, semuanya menyesuaikan dengan kebutuhan.

Semoga Bermanfaat.

Sunday, August 7, 2011

Perhitungan PPh 21 Gaji Bulanan

Bagus bekerja pada PT ABC sejak 1 Agusutus 2009, status kawin, memiliki 2 orang anak kandung yang lahir masing-masing 10 Mei 2007 dan 5 Januari 2011. Bagus juga memiliki tanggungan ibu kandung dan seorang adik kandung yang masih sekolah.

Bagus menerima Gaji pokok Rp.3.000.000,00 per bulan, tunjangan transportasi Rp.300.000,00 dan tunjangan makan sebesar Rp.300.000,00. PT ABC mengikuti program JAMSOSTEK, 2% dari gaji pokok dibayar sendiri dan 3,7% dari gaji pokok dibayar oleh perusahaan.

Berapakah PPh 21 yang harus dipotong atas penghasilan Bagus bulan Maret 2011 ?

Berikut Perhitungannya :

KETERANGAN
Gaji Pokok Rp.3.000.000,-
Tunjangan Transport Rp.3.00.000,-
Tunjangan Makan Rp.3.00.000,-
Penghasilan Bruto Rp.3.600.000,-
Pengurang :
Biaya Jabatan = 5% X Rp.3.600.000,- Rp.180.000,-
Iurang JHT Rp.60.000,-
Jumlah Pengurang Rp.240.000,-
Penghasilan Neto Sebulan Rp.3.360.000,-
Penghasilan Neto Setahun 12 X Rp.3.360.000,- Rp.40.320.000,-
PTKP :
Untuk Wajib Pajak Rp.15.840.000,-
Status Kawin Rp.1.320.000,-
2 Tanggungan Rp.2.640.000,-
Rp.19.800.000,-
Penghasilan Kena Pajak Rp.20.520.000,-
PPh Pasal 21 Terutang 1 tahun 5% X Rp.20.520.000,- Rp.1.026.000,-
PPh Pasal 21 Terutang 1 Bulan Rp.1.026.000,- / 12 Rp.85.500

Jadi PPh Pasal 21 yang harus dipotong atas penghasilan Bagus bulan Maret 2011 adalah sebesar Rp.85.500,-

Apabila Bagus tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah : 120% X Rp.85.500 = Rp.102.600,-

Keterangan :
  • Untuk PTKP tanggungan adalah 1 Anak yang lahir pada tanggal 10 Mei 2007 dan Ibu Kandung.
  • Anak yang lahir pada tanggal 5 Januari 2011 belum masuk dalam hitungan, karena baru lahir ketika tahun pajak sudah berjalan.
  • Adik kandung tidak masuk dalam perhitungan karena tidak berada pada satu garis lurus (tidak semenda).

Jika ada pertanyaan atau koreksi silahkan berkomentar pada form dibawah. Semoga bermanfaat.

Friday, July 22, 2011

Denda Telat Bayar PPh Pasal 21 & 23

Denda dikenakan atas keterlambatan pembayaran PPh terutang. Besarnya denda yang dikenakan adalah sebesar 2% per bulan hingga tanggal pembayaran, maksimal 24 bulan atau 48%, dan bagian dari bulan dihitung 1 bulan. Denda sebesar 2% bukan hanya untuk PPh Pasal 21 & 23 saja, tetapi untuk pembayaran SPT Masa artinya untuk pembayaran pajak tiap bulan.

Dari penjelasan singkat dalam undang-undang tentang denda sebesar 2%, ternyata masih banyak yang sulit memahami perhitungan denda tersebut. Muncul beberapa pertanyaan :
  1. Seandainya saya telat bayar untuk masa pajak bulan Februari 2011 yang seharusnya saya bayar tanggal 10 Maret 2011 tetapi baru saya bayar tanggal 15 Maret 2011 tanpa membayar dendanya. Apakah denda tersebut hanya dihitung 1 bulan, artinya 1x2%xJumlah Pajak ? atau denda tersebut dihitung lagi 2% untuk bulan berikutnya sampai saya membayar denda tersebut ?
  2. Apa maksud dari bagian dari bulan dihitung 1 bulan ?

Uraian berikut semoga dapat membantu menjawab pertanyaan tersebut :
PPh yang terutang untuk SPT Masa PPh harus dibayar paling lambat tanggal 10 Bulan berikutnya dan dilaporkan paling lambat tanggal 20 Bulan berikutnya. Misalnya PPh yang terutang untuk masa pajak Februari 2011 sebesar Rp.50.000.000,00 dan dibayar pada tanggal 15 Maret 2011. Maka perhitungan denda yang harus dibayar adalah sebesar ( Rp.50.000.000,00 x 2% ) x 1 = Rp.1.000.000,00 walaupun denda tersebut belum dibayar hingga bulan Mei 2011, tetap terutang denda Rp.1.000.000,00. Karena denda dihitung sampai dengan tanggal pembayaran pajak, bukan sampai dengan pembayaran denda.

Kemudian, jika PPh yang terutang tersebut dibayar pada tanggal 15 April 2011, maka denda yang harus dibayar adalah sebesar : ( Rp.50.000.000,00 x 2% ) x 2 = Rp.2.000.000,00.

Maksud dari 1 bulan adalah jumlah hari dari bulan kalender yang bersangkutan, misalnya tanggal 22 Juni s/d 21 Juli 2011. Sedangkan yang dimaksud dari "bagian dari bulan" adalah jumlah hari yang tidak mencapai 1 bulan penuh, misalnya tanggal 22 Juni 2011 s/d 5 Juli 2011. Jadi bagian dari bulan tersebut tetap dihitung 1 bulan.

Kapan seharusnya bayar denda tersebut ?
Sepanjang yang saya ketahui, tunggu sampai adanya STP (Surat Tagihan Pajak) dari kantor pajak, karena untuk membayar denda tersebut harus mengisi Nomor STP, SKPKB, atau SKPKBT. (Mohon koreksi).

Thursday, July 21, 2011

PPh atas Sewa Tanah & Bangunan

Sewa tanah dan / atau bangunan merupakan jenis jasa yang dikenakan PPh Final, yaitu PPh Pasal 4 ayat (2). Subjek pajak atas tanah dan / atau bangunan adalah orang pribadi atau badan, sehingga pengenaan pajak atas sewa tanah dan / atau bangunan tersebut sama antara wajib pajak orang pribadi (WPOP) atau wajib pajak badan (WP Badan), dan antara wajib pajak dalam negeri maupun wajib pajak luar negeri.

Objek pajak atas sewa tanah dan / atau bangunan adalah penghasilan yang diterima oleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominimum, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri.

Besarnya tarif atas sewa tanah dan / atau bangunan tersebut adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan / atau bangunan.

Pihak pemotong pajak adalah :
  • Badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, kerjasama operasi, dan perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
  • WP Pribadi dalam negeri yang ditunjuk, terdiri dari :
    • Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas.
    • WP Pribadi dalam negeri yang menjalankan usaha dan menyelenggarakan pembukuan.
    Apabila pihak penyewa adalah wajib pajak pribadi selain disebutkan diatas atau penyewa adalah bukan subjek pajak, maka PPh yang terutang atas sewa wajib dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan.

    Thursday, July 14, 2011

    Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21

    Berikut adalah jenis penghasilan yang dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 21 :

    • Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan,asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
    • Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak selain Pemerintah, atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit);
    • Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja;
    • Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
    • Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu (Psl 3(1) UU PPh). Ketentuannya di atur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 246/PMK.03/2008

    Beasiswa yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 21 adalah :
    • Beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan di dalam negeri pada tingkat Pendidikan Dasar, Pendidikan menengah, dan Pendidikan Tinggi.
    • Ketentuan diatas (Nomor 1), tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai hubungan istimewa dengan Pemilik, Komisaris, Direksi, atau Pengurus dari Pihak pemberi beasiswa.
    • Komponen beasiswa yang dipotong PPh Pasal 21 adalah biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar.

    Contoh Perhitungan PPh 21 Jasa Tenaga Ahli

    Seperti telah dijelaskan pada posting sebelumnya tentang PPh Pasal Bukan Pegawai bahwa ada 2 (dua) cara untuk menghitung PPh Pasal 21 Bukan Pegawai, yaitu Penghasilan Bruto dikurangi dengan PTKP dan Penghasilan Bruto tanpa dikurangi PTKP. Baca kembali ketentuannya.

    Berikut diberikan contoh perhitungan masing-masing.

    Contoh 1 : Tanpa dikurangi PTKP

    Mr. X adalah seorang tenaga ahli yang dipekerjakan oleh pada PT. ABC pada bulan Januari 2011. Mr. X menerima penghasilan lain dari PT. XYZ. Penghasilan Mr. X dihitung berdasarkan jumlah hari kerja. Gaji yang diberikan per hari adalah sebesar Rp.5.000.000,00.
    Bulan Januari 2011 Mr. X bekerja selama 4 hari. Berapa PPh 21 yang dipotong ?

    Jawab :
    Penghasilan Bruto Januari 2011: Rp.5.000.000,00 x 4 hari = Rp.20.000.000,00

    DPP = Rp.20.000.000,00 x 50%
    PKP = Rp.10.000.000,00
    PPh 21 = Rp.10.000.000,00 x 5% = Rp.500.000,00

    Dalam hal Mr.X tidak memiliki NPWP, PPh 21 yang dipotong adalah :
    Rp.500.000,00 x 120% = Rp.600.000,00 (20% lebih tinggi).

    Contoh 2 : Dikurangi PTKP

    Berdasarkan contoh 1, Mr. X Menikah tanpa ada tanggungan. Mr.X hanya menerima penghasilan dari PT. ABC. Bulan januari bekerja selama 4 hari, bulan Februari bekerja selama 10 hari, dan bulan Maret bekerja selama 15 hari. Berapa PPh 21 yang dipotong pada bulan Januari, Februari, dan Maret ?

    Jawab :
    Januari :
    Penghasilan Bruto = Rp.5.000.000,00 x 4 hari = Rp.20.000.000,00
    DPP = Rp.20.000.000,00 x 50% = Rp.10.000.000,00
    DPP Kumulatif = Rp.10.000.000,00
    PKP = Rp.10.000.000,00 - Rp.1.430.000,00 (1.320.000 + 110.000) = Rp.8.570.000.00
    PPh 21 = Rp.8.570.000,00 x 5% = Rp.428.500,00

    Februari :
    Penghasilan Bruto = Rp.5.000.000,00 x 10 hari = Rp.50.000.000,00
    DPP = Rp.50.000.000,00 x 50% = Rp.25.000.000,00
    DPP Kumulatif = Rp.10.000.000,00 + Rp.25.000.000,00 = Rp.35.000.000,00
    PKP = Rp.25.000.000,00 - Rp.1.430.000,00 (1.320.000 + 110.000) =Rp.23.570.000,00
    PPh 21 = Rp.23.750.000,00 x 5% = Rp.1.187.500,00

    Maret :
    Penghasilan Bruto = Rp.5.000.000,00 x 15 hari = Rp.75.000.000,00
    DPP = Rp.75.000.000,00 x 50% = Rp.37.500.000,00
    DPP Kumulatif 1 = Rp.35.000.000,00 + Rp.15.000.000,00 = Rp.50.000,000,00
    (seharusnya Rp.35.000.000,00 + Rp.37.500.000,00 tetapi harus disesuaikan sampai batas maksimum tarif PPh Pasal 17 untuk lapisan pertama 5% sebesar Rp.50.000.000,00)

    Perhitungan :
    DPP 1 = Rp.30.000.000,00 x 50% = Rp.15.000.000,00
    DPP Kumulatif = Rp.35.000.000,00 + Rp.15.000.000,00 = Rp.50.000.000,00
    PKP = Rp.15.000.0000 - Rp.1.430.000,00 (1.320.000 + 110.000) = Rp.13.570.000,00
    PPh 21 = Rp.13.570.000,00 x 5% = Rp.678.500,00

    DPP 2 = (Rp.75.000.000,00 - Rp.30.000.000,00) x 50% = Rp.22.500.000,00
    DPP Kumulatif = Rp.50.000.000,00 + Rp.22.500.000,00 = Rp.77.500.000,00
    PKP = Rp.22.500.000,00 - Rp.1.430.000,00 (1.320.000 + 110.000) = Rp.21.070.000,00
    PPh 21 = Rp.21.070.000,00 x 15% = Rp.3.160.500,00

    PPh 21 Bulan Maret = Rp.678.500,00 + Rp.3.160.500,00 = Rp.3.839.000,00

    Thursday, June 23, 2011

    PPh Pasal 21 Bukan Pegawai

    Perlu dipahami bahwa perhitungan PPh Pasal 21 Bukan Pegawai berbeda dengan perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai / Karyawan. Sebelum membahas perhitungannya perlu diketahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk kategori bukan pegawai.

    Termasuk dalam kategori bukan pegawai adalah :
    1. Tenaga Ahli
    2. Pemain Musik
    3. Pembawa Acara
    4. Penyanyi
    5. Pelawak
    6. Bintang Film
    7. Bintang Sinetron
    8. Bintang Iklan
    9. Sutradara
    10. Kru Film
    11. Foto Model
    12. Peragawan / Peragawati
    13. Pemain  Drama
    14. Penari
    15. Pemahat
    16. Pelukis & Seniman Lainnya
    17. Olahragawan
    18. Penasehat
    19. Pengajar
    20. Pelatih
    21. Penceramah
    22. Penyuluh
    23. Moderator
    24. Pengarang
    25. Peneliti
    26. Penerjemah
    27. Agen Iklan
    28. Pemberi Jasa dalam segala bidang termasuk Teknik, Komputer dan Sistem Aplikasinya, Telekomunikasi, Elektronika, Fotografi, Ekonomi dan Sosial, serta pemberian jasa kepada suatu panitia
    29. Pengawas
    30. Pengelola Proyek
    31. Pembawa Pesanan
    32. Penemu Langganan atau yang menjadi perantara
    33. Penjaja Barang Dagangan
    34. Petugas Dinas Luar Asuransi
    35. Distributor Perusahaan Multi Level Marketing (MLM) atau Direct Selling & Kegiatan Sejenis lainnya.

    Perhitungan PPh Pasal 21 Bukan Pegawai adalah :

    Syarat-syarat :
    1. Imbalan / Penghasilan berkesinambungan
    2. Memiliki NPWP
    3. Hanya menerima penghasilan dari 1 (Satu) Pemotong yang bersangkutan
    PENGHASILAN BRUTO X 50%
    XXXXX
    PTKP
    (XXXXX)
    PKP
    XXXXX


    PKP x PPh Pasal 17 = PPh Pasal 21 Jasa Tenaga Ahli yang terutang

    Belum tahu tarif PPh Pasal 17 ? BACA DISINI

    Syarat-syarat :
    1. Imbalan / Penghasilan tidak berkesinambungan
    2. Tidak Memiliki NPWP, atau
    3. Menerima penghasilan selain dari Pemotong yang bersangkutan


    PENGHASILAN BRUTO X 50%
    XXXXX
    PKP
    XXXXX

    PKP x PPh Pasal 17 = PPh Pasal 21 Jasa Tenaga Ahli yang terutang

    20% lebih tinggi bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP


    Belum tahu tarif PPh Pasal 17 ? BACA DISINI

    Untuk contoh Perhitungan PPh 21 Bukan Pegawai akan diberikan pada posting selanjutnya. Jika ada hal yang ingin didiskusikan silahkan berkomentar dibawah atau kirim E-Mail ke alamat diatas.

    Monday, June 20, 2011

    Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 17

    Untuk menghitung Pajak Penghasilan digunakan tarif yang tertuang dalam Undang-Undang PPh Pasal 17. Tarif tersebut adalah :

    1. Wajib Pajak Dalam Negeri



    LAPISAN PENGHASILAN

    TARIF
    s/d 50.000.000,00
    5%
    > 50.000.000,00 s/d 250.000.000,00
    15%
    > 250.000.000,00 s/d 500.000.000,00
    25%
    > 500.000.000,00
    30%


    Untuk keperluan penerapan tarif tersebut jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan kebawah dalam ribuan rupiah penuh. Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak tersebut dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.

    2. Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap
    Tarif untuk WPDN dan BUT adalah 25% Berlaku sejak tahun pajak 2010. Tarif sebelumnya adalah 28%.
    Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk perseroan terbuka dapat memperoleh penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5% (Lima Persen) lebih rendah dari tarif tertinggi Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri. Penurunan tarif sebesar 5% tersebut dapat diberikan jika memenuhi persyaratan (PP Nomor 81 Tahun 2007) sebagai berikut :
    • Apabila jumlah kepemilikan saham publiknya adalah 40% (empat puluh persen) atau lebih dari keseluruhan saham yang disetor;
    • Saham tersebut dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) pihak; dan
    • Masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang disetor.

    3. Dividen yang dibagian kepada WPOP Dalam Negeri
    Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.

    Sunday, June 19, 2011

    Jasa Kena Pajak (JKP)

    Didalam Undang-Undang PPN Pasal 4(A) ayat 3 disebutkan Jenis Jasa yang tidak dikenai PPN, artinya selain jasa yang disebutkan tersebut dikenakan PPN.

    Jenis Jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
    • Jasa Pelayanan Kesehatan Medis;
    • Jasa Pelayanan Soisal;
    • Jasa Pengiriman surat dengan perangko;
    • Jasa Keuangan;
    • Jasa Asuransi;
    • Jasa Keagamaan;
    • Jasa Pendidikan;
    • Jasa Kesenian dan Hiburan;
    • Jasa Penyiaran yang tidak bersifat iklan;
    • Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
    • Jasa Tenaga Kerja;
    • Jasa Perhotelan;
    • Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
    • Jasa penyediaan tempat parkir;
    • Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
    • Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
    • Jasa boga atau katering.

    Penjelasan Pengenaan PPN

    Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas :

    1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha
    Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) adalah Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan.
    Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berkut:
    • Barang berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak. Apa saja yang termasuk Barang Kena Pajak ? Baca lagi artikel Barang Kena Pajak;
    • Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
    • Penyerahan dilakukan didalam Daerah Pabean;
    • Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

    2. Impor Barang Kena Pajak
    Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berbeda denga penyerahan barang kena pajak seperti disebutkan diatas, siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.

    3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
    Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), tetapi belum dikukuhkan.
    Penyerahan Jasa Kena Pajak yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
    • Jasa yang diserahkan merupakan jasa kena pajak. Apa saja yang termasuk jasa kena pajak ? Baca artikel Jasa Kena Pajak;
    • Penyerahan dilakukan didalam Daerah Pabean;
    • Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
    Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau diberikan secara cuma-cuma.

    4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
    Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang bersasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daearh Pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
    Contoh : Pengusaha A yang berkedudukan di Indonesia memperoleh hak mengguanakan merk yang dimiliki Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaat merk tersebut oleh Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang PPN.

    5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabena di dalam Daerah Pabean
    Jasa dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
    Contoh : Pengusaha A yang berkududukan di Indonesia memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.

    6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
    Pengusaha yang melakukan Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP, artinya jika ekspor dilakukan oleh orang yang belum dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, atas ekspor tersebut tidak terutang PPN.

    7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
    Sebagaimana halnya dengna kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

    Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah :
    1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta dibidang kesusastraan, kesenian, atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merk dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
    2. Peggunaan atau hak menggunakan peralatan / perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
    3. Pemberian pengetahuan atau informasi dibidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
    4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada huruf a, penggunaan atau hak menggunakan peralatan / atau perlengkapan pada huruf b, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada huruf c, berupa :
      • Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
      • Pengguanaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan / dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
      • Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi.
    5. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi atau pita suara untuk siaran radio; dan
    6. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan pengguanaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut diatas.

    8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
    Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean

      Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

      Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Pajak yang dikenakan terhadap barang atau jasa karena bertambahnya nilai guna dari barang atau jasa tersebut. PPN bersifat objektif, artinya PPN dikenakan bukan berdasarkan subjek pajak melainkan dari barang atau jasanya. Hal ini menegaskan bahwa pengenaan PPN tidak memandang apakah pembeli atau penjual barang atau jasa tersebut sudah terdaftar sebagai wajib pajak atau belum.

      PPN dikenakan pada setiap rantai produksi, mulai dari proses produksi hingga terdistribusi ke konsumen akhir. Contoh : Setiap produksi mie instan, PPN telah dipungut oleh produsen terhadap agen-agen penyalur, agen penyalur mendistribusikan lagi ke toko-toko kecil hingga ke konsumen yang tentunya didalam harga jual tersebut sudah diperhitungkan adanya PPN. Lalu apakah ini bisa dibilang pajak berganda? Mari kita diskusikan bersama.

      PPN sendiri dibagi menjadi 2 yaitu PPN Masukan dan PPN Keluaran.
      PPN Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak (JKP) dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud (BKPTB) dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak (BKP).
      PPN Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang harus dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.

      Fungsi dari adanya PPN Masukan dan PPN Keluaran tersebut adalah untuk perhitungan apakah wajib pajak kelebihan membayar pajak atau bahkan kekurangan membayar pajak. Perhitungan sederhananya adalah PPN Masukan dikurangi dengan PPN Keluaran, jika PPN Masukan lebih tingga dari PPN Keluaran maka wajib pajak tersebut masih memiliki pajak yang terutang yang harus dilunasi melalaui bank persepsi. dan jika PPN Keluaran lebih tinggi dari PPN Masukan maka wajib pajak tersebut telah kelebihan membayar pajak, yang atas kelebihan pembayaran pajak tersebut dapat dikompensasikan ke perhitungan pajak bulan selanjutnya atau dilakukan restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak) pada akhir tahun.

      Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas :
      • Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
      • Impor Barang Kena Pajak;
      • Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
      • Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
      • Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daearh Pabean;
      • Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
      • Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
      • Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

      Penjelasan mengenai Pengenaan PPN atas PPN diatas dapat dibaca pada artikel Penjelasan Pengenaan PPN.

      Friday, June 17, 2011

      Subjek Pajak Penghasilan

      Yang menjadi Subjek Pajak Penghasilan adalah :

      1. Orang Pribadi
      Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Insdonesia ataupun di luar Indonesia.

      2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
      Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.

      3. Badan
      Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk Kontrak Investasi Kolektif dan Bentuk Usaha Tetap.

      BUMN dan BUMD merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari Badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak.

      Dalam pengetian Perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

      4. Bentuk Usaha Tetap
      Penjelasan mengenai Bentuk Usaha Tetap dapat dibaca DISINI.

      Bentuk Usaha Tetap (BUT)

      Salah satu Subjek Pajak Penghasilan (Subjek PPh) adalah Bentuk Usaha Tetap atau lebih sering didengar atau familiar dengan sebutan BUT. Namun mungkin saja masih banyak yang belum mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan BUT.

      Didalam Undang-Undang PPh Pasal 2 ayat 5 disebutkan :
      Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :
      1. Tempat kedudukan manajemen;
      2. Cabang perusahaan;
      3. Kantor perwakilan;
      4. Gedung kantor;
      5. Pabrik;
      6. Bengkel;
      7. Gudang;
      8. Ruang untuk promosi dan penjualan;
      9. Pertambangan dan penggalian sumber alam;
      10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
      11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
      12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
      13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
      14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
      15. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia; dan
      16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalaui internet.

       Suatu Bentuk Usaha Tetap mengandung pengertian suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

      Pengertian Bentuk Usaha Tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang beritindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan usahanya sendiri.

      Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

      Thursday, June 16, 2011

      Penyerahan Barang Kena Pajak

      Pajak Pertambahan Nilai (PPN) salah satunya dikenakan pada Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), didalam Undang-Undan PPN Pasal 1A disebutkan yang termasuk dalam  pengertian Barang Kena Pajak adalah :
      1. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
      2. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
      3. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
      4. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
      5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
      6. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
      7. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi;
      8. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.

      Untuk memberikan pemahaman yang seragam mengenai besarnya tarif yang dikenakan terhadap masing-masing penyerahan Barang Kena Pajak, perlu ditegaskan kembali bahwa tarif PPN adalah 10% dari DPP (Dasar Pengenaan Pajak), kecuali bagi Wajib Pajak tertentu yang memiliki ijin tertentu untuk menggunakan tarif 5% atau yang lainnya.

      Pemahaman seperti ini perlu ditanamkan kepada setiap Wajib Pajak untuk menghindari kesalahpahaman yang mungkin terjadi mengenai pengenaan tarif terhadap penyerhan Barang Kena Pajak, yang membedakan adalah besarnya DPP. DPP dapat sebesar 100% dari harga barang, 40% dari harga barang, 10% dari harga barang, dan lainnya. Tetapi untuk tarif tetap 10% dari DPP.

      Untuk mengetahui besarnya Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atas penyerahan Barang Kena Pajak akan dibahas pada posting selanjutnya.

      Monday, June 13, 2011

      Peraturan Menteri Keuangan No. 14/PMK.03/2011

      MENTERI KEUANGAN
      REPUBLIK INDONESIA
      SALINAN
      PERATURAN MENTERI KEUANGAN
      NOMOR 14/PMK.03/2011

      TENTANG

      PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK
      SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP

      DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

      MENTERI KEUANGAN,

      Menimbang
      :
      a.
      bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum mengenai perlakuan perpajakan atas penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu mengatur kembali perlakuan perpajakan atas penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap;
      b.
      bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;
      Mengingat
      :
      1.
      Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
      2.
      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
      3.
      MEMUTUSKAN:
      Menetapkan
      :
      PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP.
      Pasal 1
      (1)
      Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
      (2)
      Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
      (3)
      Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan apabila seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:
      a.
      penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
      b.
      penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
      c.
      pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
      d.
      investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
      Pasal 2
      (1)
      Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
      a.
      penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan; dan
      b.
      Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
      (2)
      Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
      a.
      perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan
      b.
      Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.
      (3)
      Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
      a.
      perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan
      b.
      Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.
      (4)
      Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:
      a.
      pembelian aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf c; atau
      b.
      investasi berupa aktiva tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf d,
      selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.
      (5)
      Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), tidak lagi dipenuhi, atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang terkait, dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
      Pasal 3
      (1)
      Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
      (2)
      Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut
      (3)
      Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut:
      a.
      jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
      b.
      bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan realisasi penanaman kembali.
      Pasal 4
      (1)
      Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial.  
      (2)
      Saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah saat perusahaan yang baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.
      (3)
      Keputusan tentang saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam) bulan setelah Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat berproduksi komersial.
      (4)
      Penetapan saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.
      (5)
      Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.
      Pasal 5
      Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia, besarnya tarif untuk menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagaimana ditentukan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak yang berlaku.
      Pasal 6
      Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final.
      Pasal 7
      Tata cara pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
      Pasal 8
      Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
      Pasal 9
      Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
      Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
      Ditetapkan di Jakarta
      pada tanggal 24 Januari 2011
      MENTERI KEUANGAN,
      ttd.
      AGUS D.W. MARTOWARDOJO
      Diundangkan Di Jakarta
      pada tanggal 24 Januari 2011
      MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
      ttd.
      PATRIALIS AKBAR
      BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 33