-
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Undang-Undang ini mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap
subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak
apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima
atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang ini disebut Wajib
Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk
penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak
subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Yang dimaksud dengan “tahun pajak” dalam Undang-Undang ini adalah
tahun kalender, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang
tidak sama dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi
jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau
berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti,
menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan
yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar
pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut
tetap dapat dilaksanakan.
Huruf b
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan
nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan
subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit
tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya
yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan
merupakan subjek pajak.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan,
perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan
yang sama.
Huruf c
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan
subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri
menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan
yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan
dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat
kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi
maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau
memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak
adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif
dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib
Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara
lain:
-
Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang
diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan
yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
-
Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan
neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak
berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan; dan
-
Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang
terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri
tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang
bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban
perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan
Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam
negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di
Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat
tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia.
Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi
ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi
subjek pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri
dalam pengertian Undang-Undang ini mengikuti status pewaris. Adapun
untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut
menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut
telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi
sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak
dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat
pada objeknya.
Ayat (4)
Huruf a dan huruf b
Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang
bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun
tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha
tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak
melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya
tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha
tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek
pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia.
Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui
bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada
subjek pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat
usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan
gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau
agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang
dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik
untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau
badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan
atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau
tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap
di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau
perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara
tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka
menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar
Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila
perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya
di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa
peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang
perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal,
berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai
yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian
penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan
pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada
kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal
Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan
badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat
tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang
perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban
pajak.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara
asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan
pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat
mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut
tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar
jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing
memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai
pajak atas penghasilan lain tersebut.
Ayat (2)
Angka 4
Pasal 4
Ayat (1)
Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan
dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau
menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan
adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan
kemampuan ekonomis.
Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut
untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk
kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
-
penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan
bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter,
notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
-
penghasilan dari usaha dan kegiatan;
-
penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak
gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan
harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
-
penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk
konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas
maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu
tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan
demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan
menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan
lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar
negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak
dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak,
maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan
lain yang dikenai tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini
dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas
yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti
upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar
oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek
Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan,
dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan
olahraga dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan
sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima
sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi
dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan,
selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta
tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya, harga jual
yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan
tersebut adalah harga pasar.
Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan
usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh
juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah). Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh
karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang
sahamnya dengan harga Rp 55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah),
nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S dan
bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta,
yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa
buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih
antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan
penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari
harta yang diserahkan dan nilai bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan
atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan kecuali
harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara
harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan
harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan
penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian
atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang
diperoleh merupakan objek pajak.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak.
Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan
dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka
jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas
nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi
dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan
bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi
yang membeli obligasi.
Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau
pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang
diperoleh anggota koperasi.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1) |
pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun; |
2) |
pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor; |
3) |
pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; |
4) |
pembagian laba dalam bentuk saham; |
5) |
pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran; |
6) |
jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima
atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh
perseroan yang bersangkutan; |
7) |
pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang
disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan,
kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal
dasar (statuter) yang dilakukan secara sah; |
8) |
pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut; |
9) |
bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi; |
10) |
bagian laba yang diterima oleh pemegang polis; |
11) |
pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi; |
12) |
pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. |
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen
secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah
menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan
imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian
maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang
berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang
diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
Huruf h
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan
cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun
tidak, sebagai imbalan atas:
-
penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan,
kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula
atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan
intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
-
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
-
pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
-
pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan
penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1,
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada
angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka
3, berupa:
a) |
penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman
suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit,
kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; |
b) |
penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman
suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang
disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau
teknologi yang serupa; |
c) |
penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi; |
-
penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture
films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara
untuk siaran radio; dan
-
pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan
penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau
hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Huruf i
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau
diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa
kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau
tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu
tertentu.
Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai
penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang
berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan
Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil
misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani
(KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat
sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu
dikecualikan sebagai objek pajak.
Huruf l
Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing
diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara
taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di
Indonesia.
Huruf m
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.
Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi
penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak
serta yang belum dikenakan pajak.
Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi
akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek
Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
Huruf q
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang
berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun,
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis
syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini.
Huruf r
Cukup jelas.
Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan-penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan antara lain:
- |
perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat; |
- |
kesederhanaan dalam pemungutan pajak; |
- |
berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak; |
- |
pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan |
- |
memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter, |
atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya.
Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan
tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran,
pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang
berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term
Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas)
bulan.
Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan
objek pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja,
hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia
yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak
diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan
“zakat” adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai zakat.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat
terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan
baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan
bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A
merupakan objek pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak
apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan oleh badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial
termasuk yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang
diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan
kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh
badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun
karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan
modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut
bukan merupakan objek pajak.
Huruf d
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan
berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan
dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan
dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas
pengobatan bukan merupakan objek pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan
tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final dan Wajib Pajak yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit),
imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan
penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu
perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh
kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik
tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan
tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab perwakilan
diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.
Huruf e
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari
perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa,
bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh
Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh
dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Huruf f
Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba
setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, dan badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan
sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), tidak termasuk objek
pajak. Yang dimaksud dengan “badan usaha milik negara” dan “badan usaha
milik daerah” pada ayat ini, antara lain, adalah perusahaan perseroan
(Persero), bank pemerintah, dan bank pembangunan daerah.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba
adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang
pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan
komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, penghasilan
berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak.
Huruf g
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya
berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan
dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran
yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang
ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana
pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan
dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas
iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh
karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.
Huruf h
Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek
Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang
pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang
dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari
modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk
pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta
pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu
diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang
berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu
dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Huruf i
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut
dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai
pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh
karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut
bukan lagi merupakan objek pajak.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “perusahaan modal ventura” adalah suatu
perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai
pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu
tertentu.
Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau
diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek
pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan
perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, dividen yang diterima atau
diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada
sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk
dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau
kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri
Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan
dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan
oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang
belum mempunyai akses ke bursa efek.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber
daya manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu
memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas
sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut
ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan
prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus
direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak
sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka
lembaga atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat
nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang
diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat
pengesahan dari instansi yang membidanginya.
Huruf n
Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial
yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang
tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.
Angka 5
Pasal 6
Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat
dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai
masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun
merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya
administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya,
sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui
amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat
kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs,
kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran.
Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran
tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan
kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak.
Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari
Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
a. |
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h |
Rp100.000.000,00 |
b. |
penghasilan bruto lainnya sebesar |
Rp300.000.000,00 (+) |
|
Jumlah penghasilan bruto |
Rp400.000.000,00 |
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah), biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp200.000.000,00 =
Rp150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli
saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang
diterimanya tidak merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf f.
Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya
pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham,
pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi
peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi,
tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan
pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi
pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaransehubungan dengan pekerjaan yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang.
Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya
fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan
sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan
merupakan penghasilan. Namun, pengeluaran dalam bentuk natura atau
kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e,
boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau
menikmati bukan merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat
kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran yang
melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa,
jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto.
Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya
selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai
biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya
yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada
hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk
promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Besarnya biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai
pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Huruf b
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta
tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau
amortisasi.
Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta penjelasannya.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka,
misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya
dapat dilakukan melalui alokasi.
Huruf c
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang
dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum
disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Huruf d
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut
tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang
dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki
tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak
digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf e
Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan
sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai
dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Huruf f
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem
baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya
perusahaan.
Huruf g
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan
pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat
dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran,
termasuk beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa
yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.
Huruf h
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan
sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya
dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya
penagihan yang maksimal atau terakhir.
Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan
berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan
sejenisnya.
Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1)
huruf h ini diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan
ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto
didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan
neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak
tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Contoh :
PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar
Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima)
tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp200.000.000,00
2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000,00)
2012 : laba fiskal Rp N I H I L
2013 : laba fiskal Rp100.000.000,00
2014 : laba fiskal Rp800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2009 |
(Rp1.200.000.000,00) |
Laba fiskal tahun 2010 |
Rp 200.000.000,00 (+) |
Sisa rugi fiskal tahun 2009 |
(Rp1.000.000.000,00) |
Rugi fiskal tahun 2011 |
(Rp 300.000.000,00) |
Sisa rugi fiskal tahun 2009 |
(Rp1.000.000.000,00) |
Laba fiskal tahun 2012 |
Rp N I H I L (+) |
Sisa rugi fiskal tahun 2009 |
(Rp1.000.000.000,00) |
Laba fiskal tahun 2013 |
Rp 100.000.000,00 (+) |
Sisa rugi fiskal tahun 2009 |
(Rp 900.000.000,00) |
Laba fiskal tahun 2014 |
Rp 800.000.000,00 (+) |
Sisa rugi fiskal tahun 2009 |
(Rp 100.000.000,00) |
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh
dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi
fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun
2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012
berakhir pada akhir tahun 2016.
Ayat (3)
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7.
Angka 6
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah
Penghasilan Tidak Kena Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib
Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh
penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut
mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri
paling sedikit sebesar Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus
empat puluh ribu rupiah).
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda
dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya
orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan
Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang
dimaksud dengan “anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya”
adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh
biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat)
orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi
kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan
tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga
lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada
Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 21.120.000,00 {Rp15.840.000,00 +
Rp1.320.000,00 + (3 x Rp1.320.000,00)}, sedangkan untuk isterinya, pada
saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan
Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 15.840.000,00. Apabila
penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah
sebesar Rp36.960.000,00 (Rp21.120.000,00 + Rp15.840.000,00).
Ayat (2)
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal
tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus
kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua
lahir setelah tanggal 1 Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena
Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2009 tetap
dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang
untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi
dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
Angka 7
Pasal 8
Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan
keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau
kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan
yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh
kepala keluarga.
Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.
Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal
tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai
penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu
kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan
isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong
pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
-
penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
-
penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota
keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang
menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh
puluh juta rupiah). Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari
satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan
pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota
keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh
juta rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak
atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.
Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha,
misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar
Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan isteri
sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00) digabungkan
dengan penghasilan A.
Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan
neto sebesar Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 +
Rp80.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat
final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas
penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
Ayat (2) dan ayat (3)
Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan
hakim, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya
dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami isteri mengadakan perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau jika isteri
menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri,
penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto
suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan
besarnya penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian
pemisahan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah sebagai
berikut.
Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon
kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan
sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut
adalah sebesar Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima
puluh ribu rupiah) maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan
pajaknya dihitung sebagai berikut:
- |
Suami: 100.000.000,00 x Rp27.550.000,00
250.000.000,00 |
= Rp11.020.000,00 |
- |
Isteri : 150.000.000,00 x Rp27.550.000,00
250.000.000,00 |
= Rp16.530.000,00 |
Ayat (4)
Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber
penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan
penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.
Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah
berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya
digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan
sebenarnya.
Angka 8
Pasal 9
Ayat (1)
Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan
antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai
biaya.
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung
dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat
dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari
pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian
penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk
pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha
koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan
bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang ini.
Huruf b
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah
biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk
kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti
perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang
dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham
atau keluarganya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau
santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh
pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh
dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan
penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Huruf e
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3)
huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan
dianggap bukan merupakan objek pajak.
Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian atau
imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat
dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan
berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan
bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:
-
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang
diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut
dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan
di daerah terpencil;
-
pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam
pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat
pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk
keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), antar
jemput karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya;
dan
-
pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
Huruf f
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran
imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena
pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha,
berdasarkan ketentuan ini jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak
boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari
suatu badan memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh
imbalan sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain
yang setara hanya dibayar sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah), jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak
boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai
pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini
adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang
bersangkutan.
Huruf i
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
Huruf j
Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga
tidak ada imbalan sebagai gaji.
Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan,
firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham,
bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto badan tersebut.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan
terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan
sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan
terhadap penghasilan.
Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan
penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus
pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan
amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan
Pasal 11A.
Angka 9
Pasal 11
Ayat (1) dan ayat (2)
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara
mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta berwujud
melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak
milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan
hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila
tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk
memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang
karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah
dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau
perusahaan batu bata.
Yang dimaksud dengan “pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali” adalah biaya
perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak
pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi
yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak
guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama
jangka waktu hak-hak tersebut.
Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini dilakukan:
-
dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang
ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line
method); atau
-
dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif
penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining
balance method).
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas.
Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan
metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan
dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun,
nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools)
yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.
Contoh penggunaan metode garis lurus:
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya
setiap tahun adalah sebesar Rp50.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00 : 20).
Contoh penggunaan metode saldo menurun:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009
dengan harga perolehan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau
tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen),
penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.
Tahun |
Tarif |
Penyusutan |
Nilai Sisa Buku |
Harga Perolehan 150.000.000,00 |
2009 |
50% |
75.000.000,00
|
75.000.000,00
|
2010 |
50% |
37.500.000,00
|
37.500.000,00
|
2011 |
50% |
18.750.000,00
|
18.750.000,00
|
2012 |
Disusutkan sekaligus |
18.750.000,00
|
0
|
Ayat (3)
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada
bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun
pertama dihitung secara pro-rata.
Contoh 1:
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pembangunan dimulai pada bulan
Oktober 2009 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2010.
Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada
bulan Maret tahun pajak 2010.
Contoh 2:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009
dengan harga perolehan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif
penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka
penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.
Tahun |
Tarif |
Penyusutan |
Nilai Sisa Buku |
Harga Perolehan
100.000.000,00 |
2009 |
6/12 x 50% |
25.000.000,00
|
75.000.000,00
|
2010 |
50% |
37.500.000,00
|
37.500.000,00
|
2011 |
50% |
18.750.000,00
|
18.750.000,00
|
2012 |
50% |
9.375.000,00
|
9.375.000,00
|
2013 |
Disusutkan sekaligus |
9.375.000,00
|
0
|
Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya
penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta
tersebut mulai menghasilkan. Saat mulai menghasilkan dalam ketentuan ini
dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat
diterima atau diperolehnya penghasilan.
Contoh:
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun
2009. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2010.
Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut
dapat dilakukan mulai tahun 2010.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan
penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur
kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik menurut metode
garis lurus maupun saldo menurun.
Yang dimaksud dengan “bangunan tidak permanen” adalah bangunan
yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama
atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak
lebih dari 10 (sepuluh) tahun, misalnya barak atau asrama yang dibuat
dari kayu untuk karyawan.
Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha
tertentu, seperti perkebunan tanaman keras, kehutanan, dan peternakan,
perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud
yang digunakan dalam bidang-bidang usaha tertentu tersebut yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (8) dan ayat (9)
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta
dikenai pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto
dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan
biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau
penggantian asuransinya, dibukukan sebagai penghasilan pada tahun
terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan
nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam
tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat
diketahui dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian
tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.
Ayat (10)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8),
dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya
tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.
Ayat (11)
Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk
melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan
jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok dan masa manfaat
yang harus diikuti oleh Wajib Pajak.
Angka 10
Pasal 11A
Ayat (1)
Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak
pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun diamortisasi dengan metode:
-
dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat; atau
-
dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.
Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode
saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak
berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus.
Ayat (1a)
Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi pada tahun pertama dihitung secara prorata.
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha
tertentu perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk amortisasi yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (2)
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta
tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak
dalam melakukan amortisasi.
Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang
dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa manfaat
yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang
diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya
tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak
menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud
dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan
kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal
masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud
tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat)
tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase
tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase
perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun
yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan
gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari
yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk
memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran
tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas
bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta
hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi
berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20% (dua
puluh persen) setahun.
Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai
potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) diamortisasi sesuai dengan persentase satuan
produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam 1
(satu) tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga
juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang
tersedia, walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30%
(tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya
amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto
pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Ayat (6)
Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi
komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi
komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan
tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin,
seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya
kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh
dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak
dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah
kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua
ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai
100.000.000 (seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut
kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan
penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai
berikut:
Harga perolehan |
Rp 500.000.000,00 |
Amortisasi yang telah dilakukan: |
|
100.000.000/200.000.000 barel (50%) |
Rp 250.000.000,00 |
Nilai buku harta |
Rp 250.000.000,00 |
Harga jual harta |
Rp 300.000.000,00 |
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00
dibukukan sebagai penghasilan.
Angka 11
Pasal 14
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak
sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai
dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi
dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari
bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.
Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan
usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto
tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan
neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan norma penghitungan.
Ayat (1)
Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya
penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan
disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada
dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
-
tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
-
pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum
mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Ayat (2)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp 4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah). Untuk dapat menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto tersebut, Wajib Pajak orang pribadi harus
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (3)
Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang
peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak
memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang
ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan
pembukuan.
Ayat (5)
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib
menyelenggarakan pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan
pembukuan, tetapi:
-
tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan; atau
-
tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan
sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang
sebenarnya tidak diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang
bersangkutan dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan penghasilan netonya dihitung
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan perkembangan
ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan
pembukuan.
Angka 12
Pasal 16
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk
menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam Undang-Undang
ini dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri
dan Wajib Pajak luar negeri.
Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan
cara biasa dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan.
Di samping itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan
Norma Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara:
-
Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
-
Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan,
Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan
biasa dengan contoh sebagai berikut.
- |
Peredaran bruto |
|
Rp6.000.000.000,00 |
- |
Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan |
|
Rp5.400.000.000,00(-) |
- |
Laba usaha (penghasilan neto usaha) |
Rp 600.000.000,00 |
- |
Penghasilan lainnya |
Rp50.000.000,00 |
|
- |
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya tersebut |
Rp30.000.000,00(-) |
|
|
|
|
Rp 20.000.000,00(+) |
- |
Jumlah seluruh penghasilan neto |
|
Rp 620.000.000,00 |
- |
Kompensasi kerugian |
|
Rp 10.000.000,00(-) |
- |
Penghasilan Kena Pajak
(bagi Wajib Pajak badan) |
|
Rp 610.000.000,00 |
- |
Pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi (isteri + 2 anak) |
|
Rp 19.800.000,00(-) |
- |
Penghasilan Kena Pajak |
|
|
|
(bagi Wajib Pajak orang pribadi) |
|
Rp 590.200. 000,00 |
Ayat (2)
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak
menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan contoh sebagai
berikut.
- |
Peredaran bruto |
Rp 4.000.000.000,00 |
- |
Penghasilan neto (menurut Norma
Penghitungan) misalnya 20% |
Rp 800.000.000,00 |
- |
Penghasilan neto lainnya |
Rp 5.000.000,00 (+) |
- |
Jumlah seluruh penghasilan neto |
Rp 805.000.000,00 |
- |
Penghasilan Tidak Kena Pajak
(isteri + 3 anak) |
Rp 21.120.000,00 (-) |
|
Penghasilan Kena Pajak |
Rp 783.880.000,00 |
Ayat (3)
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara
penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada dasarnya sama dengan cara
penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri.
Karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan
pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara penghitungan
biasa.
Contoh:
- |
Peredaran bruto |
|
Rp10.000.000.000,00 |
- |
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan |
|
Rp 8.000.000.000,00(-) |
|
|
|
Rp 2.000.000.000,00 |
- |
Penghasilan bunga |
|
Rp 50.000.000,00 |
- |
Penjualan langsung barang yang sejenis dengan barang yang dijual bentuk usaha tetap oleh kantor pusat |
Rp 2.000.000.000,00 |
|
- |
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan |
Rp1.500.000.000,00(-) |
|
|
|
|
Rp 500.000.000,00 |
|
Dividen yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap |
|
Rp1.000.000.000,00(+) |
|
|
|
Rp3.550.000.000,00 |
- |
Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3) |
Rp 450.000.000,00(-) |
- |
Penghasilan Kena Pajak |
|
Rp3.100.000.000,00 |
Contoh:
Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya
sebagai subjek pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka
waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) maka penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya
adalah sebagai berikut.
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan |
Rp 150.000.000,00 |
Penghasilan setahun sebesar: |
|
(360 : (3x30)) x Rp150.000.000,00 |
Rp 600.000.000,00 |
Penghasilan Tidak Kena Pajak |
Rp 15.840.000,00(-) |
Penghasilan Kena Pajak |
Rp 584.160.000,00 |
Angka 13
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 600.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% x Rp50.000.000,00 |
= Rp 2.500.000,00 |
15% x Rp200.000.000,00 |
= Rp 30.000.000,00 |
25% x Rp250.000.000,00 |
= Rp 62.500.000,00 |
30% x Rp100.000.000,00 |
= Rp 30.000.000,00 (+) |
|
Rp125.000.000,00 |
Huruf b
Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp1.250.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
28% x Rp1.250.000.000,00 = Rp350.000.000,00
Ayat (2)
Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan
diberlakukan secara nasional dimulai per 1 Januari, diumumkan
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tarif baru itu berlaku
efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam rangka penyusunan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (2c)
Cukup jelas.
Ayat (2d)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian,
antara lain tingkat inflasi, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
Ayat (4)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.
Ayat (5) dan ayat (6)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)): Rp 584.160.000,00
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp 50.000.000,00 |
= Rp 2.500.000,00 |
15% x Rp 200.000.000,00 |
= Rp 30.000.000,00 |
25% x Rp 250.000.000,00 |
= Rp 62.500.000,00 |
30% x Rp 84.160.000,00 |
= Rp 25.248.000,00 (+) |
|
Rp 120.248.000,00 |
Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
((3 x 30) : 360) x Rp120.248.000,00 = Rp 30.062.000,00
Ayat (7)
Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk
menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis
penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),
sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut
didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan
dalam pengenaan pajak.
Angka 14
Pasal 18
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk
memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal
perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak.
Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar
mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity
ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar
melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam
keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan
Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung.
Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian
ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan
“kewajaran atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.
Ayat (2)
Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional
sejalan dengan era globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam
negeri menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan
penghindaran pajak, terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada
badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan
berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen.
Contoh:
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20%
pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut
tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh
laba setelah pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya
penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa.
Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi
penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya
melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal
Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau
biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak
tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali
jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan
harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price
method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode
biaya-plus (cost-plus method), atau metode lainnya seperti metode
pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih
transaksional (transactional net margin method).
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara
terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang
maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut
sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan, misalnya
melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dan utang yang lazim
terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang
yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk
dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperoleh
bunga tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak.
Ayat (3a)
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah
kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai
harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan
diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik
penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional.
Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut
dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang
dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada
kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan
kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas
harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada
perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu
merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak
atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan
otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada
di wilayah yurisdiksinya.
Ayat (3b)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh
Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu
perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang
didirikan khusus untuk tujuan tersebut (special purpose company).
Ayat (3c)
Contoh:
X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara
yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95%
(sembilan puluh lima persen) saham PT X yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia. X Ltd. ini adalah suatu perusahaan antara
(conduit company) yang didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co.,
sebuah perusahaan di negara B, dengan tujuan sebagai perusahaan antara
dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X.
Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd.
kepada PT Z yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal
transaksi di atas merupakan pengalihan saham perusahaan luar negeri
oleh Wajib Pajak luar negeri.
Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan
kepemilikan (saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak
luar negeri sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak
Penghasilan.
Ayat (3d)
Cukup jelas.
Ayat (3e)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena
ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:
-
kepemilikan atau penyertaan modal; atau
-
adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib
Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau
perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan
kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen) saham
PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai
penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal
demikian, antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan
istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham
PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena
penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak
terdapat hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan
berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara
beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat” adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan
“hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu
derajat” adalah saudara.
Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis keturunan lurus
satu derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga
semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 19
Ayat (1)
Adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan
di bidang moneter dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan
penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang
wajar.
Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang
menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi)
atau indeksasi biaya dan penghasilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun
berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan
pajak adalah pemberi kerja, bendahara pemerintah, dana pensiun, badan,
perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Huruf a
Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah orang
pribadi ataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan, atau
unit perusahaan yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan,
honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apa pun kepada pengurus,
pegawai atau bukan pegawai sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan yang dilakukan. Dalam pengertian pemberi kerja
termasuk juga organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari
kewajiban memotong pajak.
Yang dimaksud dengan “pembayaran lain” adalah pembayaran dengan
nama apa pun selain gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran
lain, seperti bonus, gratifikasi, dan tantiem.
Yang dimaksud dengan “bukan pegawai” adalah orang pribadi yang
menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan
dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau
memperoleh honorarium dari pemberi kerja.
Huruf b
Bendahara pemerintah termasuk bendahara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga
negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri
yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Yang termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama.
Huruf c
Yang termasuk “badan lain”, misalnya, adalah badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun, tunjangan
hari tua, tabungan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis dengan
nama apa pun.
Yang termasuk dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain
adalah tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun
tidak yang dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari
tua, dan penerima tabungan hari tua.
Huruf d
Yang termasuk dalam pengertian badan adalah organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat (2).
Yang termasuk tenaga ahli orang pribadi, misalnya, adalah dokter,
pengacara, dan akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak
untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama
persekutuannya.
Huruf e
Penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak atas pembayaran hadiah
atau penghargaan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
Dalam pengertian penyelenggara kegiatan termasuk antara lain badan,
badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional,
perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakan, misalnya kegiatan olahraga,
keagamaan, dan kesenian.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan
Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk
juga iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh
pegawai.
Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah
jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan
Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga penerima
tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.
Ayat (4)
Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian,
mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan
bruto dikurangi dengan bagian penghasilan yang tidak dikenai pemotongan
yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, dengan
memerhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak yang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (5a)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dapat dibuktikan oleh
Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu NPWP.
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 75.000.000,00
Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah:
5% x Rp50.000.000,00 |
= Rp2.500.000,00 |
15% x Rp25.000.000,00 |
= Rp3.750.000,00 (+) |
Jumlah |
Rp6.250.000,00 |
Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP adalah:
5%x120% x Rp50.000.000,00 |
= Rp3.000.000,00 |
15%x120% x Rp25.000.000,00 |
= Rp4.500.000,00 (+) |
Jumlah |
Rp7.500.000,00 |
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 22
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan ini, yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah:
- |
bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas
penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah
pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama; |
- |
badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta,
berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang
lain, seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain
otomotif dan semen; dan |
- |
Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli
atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh
Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang
yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat
mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal
pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah,
serta kendaraan sangat mewah. |
Dalam pelaksanaan ketentuan ini Menteri Keuangan mempertimbangkan, antara lain:
- |
penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien; |
- |
tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang; dan |
- |
prosedur pemungutan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan. |
Pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui
sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan
pengenaan pajak yang tepat waktu. Sehubungan dengan hal tersebut,
pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dapat bersifat final.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib
Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib
Pajak.
Angka 18
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib
Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib
Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 24
Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh
penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi
karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di
luar negeri, ketentuan ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak
atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib
Pajak dalam negeri.
Ayat (1)
Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia
hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak.
Contoh:
PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di
Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan
sebesar US$100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X adalah
48% dan Pajak Dividen adalah 38%.
Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:
Keuntungan Z Inc |
US$ 100,000.00 |
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) |
|
atas Z Inc.: (48%) |
US$ 48,000.00 (-) |
|
US$ 52,000.00 |
Pajak atas dividen (38%) |
US$ 19,760.00 (-) |
Dividen yang dikirim ke Indonesia |
US$ 32,240.00 |
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak
Penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung dikenakan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam
contoh di atas yaitu jumlah sebesar US$19,760.00.
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar
US$48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang
terutang atas PT A, karena pajak sebesar US$48,000.00 tersebut tidak
dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT A
dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc.
di negara X.
Ayat (2)
Untuk memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari luar negeri dan penghasilan yang
diterima atau diperoleh di Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayar
atau terutang di luar negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang
terutang di Indonesia tetapi tidak boleh melebihi besarnya pajak yang
dihitung berdasarkan Undang-undang ini. Cara penghitungan besarnya pajak
yang dapat dikreditkan ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan
wewenang sebagaimana diatur pada ayat (6).
Ayat (3) dan (4)
Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang
terutang menurut Undang-Undang ini, penentuan sumber penghasilan menjadi
sangat penting.
Selanjutnya, ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber
penghasilan untuk memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut.
Mengingat Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang
luas, maka sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) penentuan sumber dari
penghasilan selain yang tersebut pada ayat (3) dipergunakan prinsip yang
sama dengan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut,
misalnya A sebagai Wajib Pajak dalam negeri memiliki sebuah rumah di
Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut dijual.
Keuntungan yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut merupakan
penghasilan yang bersumber di Singapura karena rumah tersebut terletak
di Singapura.
Ayat (5)
Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas
penghasilan yang dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang
dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya
perhitungan semula, maka selisihnya ditambahkan pada Pajak Penghasilan
yang terutang menurut Undang-undang ini. Misalnya, dalam tahun 1996,
Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri
tahun pajak 1995 sebesar Rp5.000.000,00 yang semula telah termasuk dalam
jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk tahun
pajak 1995, maka jumlah sebesar Rp5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada
Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun pajak 1996.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 25
Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran
bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun
berjalan.
Ayat (1)
Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun 2009
dikurangi: |
Rp 50.000.000,00 |
a. |
Pajak Penghasilan yang dipotong
pemberi Kerja (Pasal 21) |
Rp15.000.000,00 |
b. |
Pajak Penghasilan yang dipungut
oleh pihak lain (Pasal 22) |
Rp10.000.000,00 |
c. |
Pajak Penghasilan yang dipotong
oleh pihak lain (Pasal 23) |
Rp 2.500.000,00 |
d. |
Kredit Pajak Penghasilan
luar negeri (Pasal 24) |
Rp 7.500.000,00 (+) |
|
Jumlah kredit pajak |
Rp35.000.000,00 (-) |
|
Selisih |
Rp15.000.000,00 |
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan
untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi
12).
Contoh 2:
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di
atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk
bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2009,
besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam
tahun 2010 adalah sebesar Rp2.500.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 6).
Ayat (2)
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah akhir bulan
ketiga tahun pajak berikutnya dan bagi Wajib Pajak badan adalah akhir
bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya angsuran pajak yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan belum dapat dihitung
sesuai dengan ketentuan pada ayat (1).
Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk
bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak
yang lalu.
Contoh:
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan
oleh Wajib Pajak orang pribadi pada bulan Februari 2010, besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan
Januari 2010 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2009, misalnya
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan
pengurangan angsuran pajak menjadi nihil sehingga angsuran pajak sejak
bulan Oktober sampai dengan Desember 2009 menjadi nihil, besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari 2010
tetap sama dengan angsuran bulan Desember 2009, yaitu nihil.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak
untuk tahun pajak yang lalu, angsuran pajak dihitung berdasarkan surat
ketetapan pajak tersebut. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku
mulai bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan
pajak.
Contoh:
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak 2009 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Februari 2010,
perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar
Rp1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Dalam bulan
Juni 2010 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2009 yang
menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, besarnya angsuran pajak
mulai bulan Juli 2010 adalah sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak
tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari angsuran pajak
sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak
sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah
pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu, berdasarkan
ketentuan ini dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan
wewenang untuk menyesuaikan perhitungan besarnya angsuran pajak yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan apabila
terdapat kompensasi kerugian; Wajib Pajak menerima atau memperoleh
penghasilan tidak teratur; atau terjadi perubahan keadaan usaha atau
kegiatan Wajib Pajak.
Contoh 1:
- |
Penghasilan PT X tahun 2009 |
Rp 120.000.000,00 |
- |
Sisa kerugian tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan |
Rp 150.000.000,00 |
- |
Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan tahun 2009 |
Rp 30.000.000,00 |
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2010 adalah:
Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 = Rp120.000.000,00 – Rp30.000.000,00 =
Rp90.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang:
28% x Rp90.000.000,00 = Rp25.200.000,00
Apabila pada tahun 2009 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong
atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, besarnya angsuran
pajak bulanan PT X tahun 2010 = 1/12 x Rp25.200.000,00= Rp2.100.000,00.
Contoh 2:
Dalam tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha
dagang Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan penghasilan
tidak teratur sebesar Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan
Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 2010 adalah hanya dari
penghasilan teratur tersebut.
Contoh 3:
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi
karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang bergerak di bidang
produksi benang dalam tahun 2009 membayar angsuran bulanan sebesar
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Dalam bulan Juni 2009 pabrik milik PT B terbakar. Oleh karena itu,
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2009
angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Sebaliknya, apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya
adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya
akan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kewajiban
angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (7)
Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun
berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun yang lalu. Namun, ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri
Keuangan untuk menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan
selain berdasarkan prinsip tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk
lebih mendekati kewajaran perhitungan besarnya angsuran pajak karena
didasarkan kepada data terkini kegiatan usaha perusahaan.
Huruf a
Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan dalam tahun pajak berjalan perlu diatur perhitungan besarnya
angsuran, karena Wajib Pajak belum pernah memasukkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan, penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan
atas kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Huruf b
Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan usaha
milik negara dan badan usaha milik daerah, serta Wajib Pajak masuk
bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan
membuat laporan keuangan berkala perlu diatur perhitungan besarnya
angsuran tersendiri karena terdapat kewajiban menyampaikan laporan yang
berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu periode tertentu
kepada instansi Pemerintah yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan
untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Huruf c
Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib
Pajak orang pribadi yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha,
besarnya angsuran pajak paling tinggi sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima
persen) dari peredaran bruto.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (8a)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 26
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri dari Indonesia, Undang-Undang ini menganut dua sistem pengenaan
pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak
luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia dan pemotongan oleh pihak yang wajib
membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang
bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap.
Ayat (1)
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh
badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang
melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari
jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
-
penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga
termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
-
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
-
hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
-
pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
-
premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
-
keuntungan karena pembebasan utang.
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak
dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri
tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua
puluh persen) dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut
mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian
merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak
Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).
Ayat (1a)
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia ditentukan
berdasarkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak yang
sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial
owner). Oleh karena itu, negara domisili tidak hanya ditentukan
berdasarkan Surat Keterangan Domisili, tetapi juga tempat tinggal atau
tempat kedudukan dari penerima manfaat dari penghasilan dimaksud.
Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, negara
domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat
tinggal atau berada, sedangkan apabila penerima manfaat adalah badan,
negara domisilinya adalah negara tempat pemilik atau lebih dari 50%
(lima puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama berkedudukan atau efektif manajemennya berada.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di
Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
yaitu penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta, dan premi
asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong
pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan
bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan
besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta hal-hal lain dalam
rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut.
Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia atau apabila penghasilan dari penjualan harta
tersebut telah dikenai pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk
usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha
tetap di Indonesia dalam tahun 2009 |
Rp17.500.000.000,00 |
Pajak Penghasilan:
28% x Rp17.500.000.000,00 |
= Rp 4.900.000.000,00 (-) |
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak |
Rp12.600.000.000,00 |
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang
20% x Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000,00
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 (dua
belas miliar enam ratus juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri
adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib
Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi
Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya
tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Contoh:
A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja
dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia
untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari
2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian kerja tersebut diperpanjang
menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus
2009.
Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah
tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya
perjanjian kerja tersebut, status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri
menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari
2009. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2009 atas penghasilan
bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.
Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan
yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan
Agustus 2009, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor
PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan
terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Angka 22
Pasal 29
Ketentuan ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan
pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan Undang-Undang ini
sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dan
paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak tersebut
wajib dilunasi paling lambat tanggal 31 Maret bagi Wajib Pajak orang
pribadi atau 30 April bagi Wajib Pajak badan setelah tahun pajak
berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan tahun kalender,
misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, kekurangan pajak
wajib dilunasi paling lambat tanggal 30 September bagi Wajib Pajak
orang pribadi atau 31 Oktober bagi Wajib Pajak badan.
Angka 23
Pasal 31A
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam Undang-
Undang perpajakan adalah diterapkannya perlakuan yang sama terhadap
semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang
hakikatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang
perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas
dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari
maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong
kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal
asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas
tinggi dalam skala nasional.
Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan
perjanjian dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan,
investasi, dan bidang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 31B
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 31C
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 31D
Cukup jelas.
Pasal 31E
Ayat (1)
Contoh 1:
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar
Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) dengan
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto
tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak
Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak
melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00
Contoh 2:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar
Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena
Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
-
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
(Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 = Rp480.000.000,00 |
-
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00 |
Pajak Penghasilan yang terutang:
- |
(50% x 28%) x Rp480.000.000,00 |
= Rp 67.200.000,00 |
- |
28% x Rp2.520.000.000,00 |
= Rp705.600.000,00(+) |
Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang |
Rp 772.800.000,00 |
Ayat (2)
Angka 27
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 32B
Dalam rangka memperluas pasar Obligasi Negara, pemerintah dapat
mengenakan tarif khusus yang lebih rendah atau membebaskan pengenaan
pajak atas Obligasi Negara yang diperdagangkan di bursa negara lain.
Pemerintah hanya dapat mengenakan perlakuan khusus ini sepanjang negara
lain tersebut juga memberikan perlakuan yang sama atas obligasi negara
lain tersebut yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Angka 29
Pasal 35
Dengan peraturan pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang belum
cukup diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini, yaitu semua
peraturan yang diperlukan agar Undang-Undang ini dapat dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya, termasuk pula peraturan peralihan.
Pasal II
Angka 1
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal 30
Juni 2001 atau sebelumnya (tidak sama dengan tahun kalender), tahun
buku tersebut adalah tahun pajak 2000. Pajak yang terutang dalam tahun
tersebut tetap dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor
7 TAHUN 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
10 TAHUN 1994 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan, sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya
berakhir setelah tanggal 30 Juni 2001 wajib menghitung pajaknya mulai
tahun pajak 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor
7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
17 TAHUN 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor
7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Angka 2
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal
30 Juni 2009 atau sebelumnya (tidak sama dengan tahun kalender), tahun
buku tersebut adalah tahun pajak 2008. Pajak yang terutang dalam tahun
tersebut tetap dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor
7 TAHUN 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
17 TAHUN 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor
7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan, sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya
berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009 wajib menghitung pajaknya mulai
tahun pajak 2009 berdasarkan Undang-Undang Nomor
7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4893